Hasil belajar Muhammad Hafidz Naufal dalam design grafis
Rabu, 24 Februari 2016
Kemandirian ABK
Mengajar anak berkebutuhan khusus, kita selaku guru mempunyai tujuan berharap agar mereka dapat mandiri. Minimal dapat membuat mereka senang dan bahagia. Bekal kemandirian yang kita dapat berikan agar anak didik kita bisa mengurus diri sendiri. Salah satu contoh yang jelas kelihatan ketika mereka diajak berekreasi.
Mereka begitu gembira. Belajar bagi anak berkebutuhan khusus tidak harus berada di kelas. Saat berekreasipun mereka dapat belajar melihat merasakan.
Berikut ini dokumentasi kegembiraan mereka. Sudahkah selaku guru Anak berkebutuhan membuat mereka gembira. Mari kita buat mereka gembira.
Selasa, 23 Februari 2016
Senin, 22 Februari 2016
INFO PENDIDIKAN
INFORMASI
MENGENAI PENDIDIKAN UNTUK ANAK
TUNADAKSA
I.
SIAPAKAH ANAK TUNADAKSA
Istilah
yang sering digunakan untuk menyebut anak tunadaksa, seperti cacat fisik, tubuh atau cacat
orthopedi. Dalam bahasa asingpun sering kali dijumpai istilah crippled, physically
handicapped, physically disabled dan lain sebagainya. Keragaman istilah yang
dikemukakan untuk menyebutkan tunadaksa tergantung dari kesenangan atau alasan
tertentu dari para ahli yang bersangkutan. Meskipun istilah yang dikemukakan
berbeda-beda, namun secara material pada dasarnya memiliki makna yang sama.
A.
Pengertian Anak Tunadaksa
Tunadakasa
berasal dari kata “ Tuna
“ yang berarti rugi, kurang dan “daksa“
berarti tubuh. Dalam banyak literitur cacat tubuh atau kerusakan tubuh tidak
terlepas dari pembahasan tentang kesehatan sehingga sering dijumpai judul
“Physical and Health Impairments“ (kerusakan atau gangguan fisik dan
kesehatan). Hal ini disebabkan karena seringkali terdapat gangguan kesehatan.
Sebagai contoh, otak adalah pusat kontrol seluruh tubuh manusia. Apabila ada
sesuatu yang salah pada otak (luka atau infeksi), dapat mengakibatkan sesuatu
pada fisik/tubuh, pada emosi atau terhadap fungsi-fungsi mental, luka yang
terjadi pada bagian otak baik sebelum, pada saat, maupun sesudah kelahiran, menyebabkan
retardasi dari mental (tunagrahita)
B.
Klasifikasi Anak Tunadaksa
Pada
dasarnya kelainan pada anak
tunadaksa dapat dikelompokkan menjadi dua bagian besar, yaitu (1) kelainan pada
sistem serebral (Cerebral System), dan (2) kelainan pada sistem otot dan rangka
(Musculus Skeletal System).
1.
Kelaian pada sistem serebral (cerebral system disorders).
Penggolongan
anak tunadaksa
kedalam kelainan sistem serebral (cerebral) didasarkan pada letak penyebab
kelahiran yang terletak didalam sistem syaraf pusat (otak dan sumsum tulang
belakang). Kerusakan pada sistem syarap pusat mengakibatkan bentuk kelainan
yang krusial, karena otak dan sumsum tulang belakang sumsum merupakan pusat
komputer dari aktivitas hidup manusia. Di dalamnya terdapat pusat kesadaran, pusat
ide, pusat kecerdasan, pusat motorik, pusat sensoris dan lain sebagainya.
Kelompok kerusakan bagian otak ini disebut Cerebral Palsy (CL).
Cerebral Palsy dapat diklasifikasikan menurut : (a) derajat kecacatan (b) topograpi anggota badan yang cacat dan (c) Sisiologi kelainan geraknya.
Cerebral Palsy dapat diklasifikasikan menurut : (a) derajat kecacatan (b) topograpi anggota badan yang cacat dan (c) Sisiologi kelainan geraknya.
a.
Penggolongan menurut derajat kecacatan
Menurut
derajat kecacatan, cerebal palsy dapat digolongkan atas : golongan ringan,
golongan sedang, dan golongan berat.
1.
Golongan ringan adalah : mereka yang dapat
berjalan tanpa menggunakan alat, berbicara tegas, dapat menolong dirinya
sendiri dalam kehidupan sehari-hari. Mereka dapat hidup bersama-sama dengan anak normal lainnya, meskipun
cacat tetapi tidak mengganggu kehidupan dan pendidikannya.
2.
Golongan sedang : ialah mereka yang membutuhkan
treatment/latihan khusus untuk bicara, berjalan, dan mengurus dirinya sendiri,
golongan ini memerlukan alat-lat khusus untuk membantu gerakannya, seperti
brace untuk membantu penyangga kaki, kruk/tongkat sebagai penopang dalam
berjalan. Dengan pertolongan secara khusus, anak-anak kelompok ini diharapkan dapat mengurus dirinya
sendiri.
3.
Golongan berat : anak cerebral palsy golongan ini yang tetap
membutuhkan perawatan dalam ambulasi, bicara, dan menolong dirinya sendiri,
mereka tidak dapat hidup mandiri ditengah-tengah masyarakat.
b.
Penggolongan Menurut TopografiDilihat dari topografi yaitu banyaknya anggota tubuh yang lumpuh, Cerebrol Palsy dapat digolongkan menjadi 6 (enam) golongan yaitu:
1.
Monoplegia, hanya satu anggota gerak yang
lumpuh misal kaki kiri sedang kaki kanan dan kedua tangannya normal.
2.
Hemiplegia, lumpuh anggota gerak atas dan
bawah pada sisi yang sama, misalnya tangan kanan dan kaki kanan, atau tangan
kiri dan kaki kiri.
3.
Paraplegia, lumpuh pada kedua tungkai
kakinya.
4.
Diplegia, lumpuh kedua tangan kanan dan kiri
atau kedua kaki kanan dan kiri (paraplegia)
5.
Triplegia, tiga anggota gerak mengalami
kelumpuhan, misalnya tangan kanan dan kedua kakinya lumpuh, atau tangan kiri
dan kedua kakinya lumpuh.
6.
Quadriplegia, anak jenis ini mengalami kelumpuhan seluruhnya
anggota geraknya. Mereka cacat pada kedua tangan dan kedua kakinya,
quadriplegia disebutnya juga tetraplegia.
c.
Penggolongan menurut Fisiologi, kelainan gerak dilihat dari segi letak kelainan
di otak dan fungsi geraknya (motorik), anak Cerebral Palsy dibedakan atas:
1)
Spastik
Type
Spastik ini ditandai dengan adanya gejala kekejangan atau kekakuan pada
sebagian ataupun seluruh otot. Kekakuan itu timbul sewaktu akan digerakan
sesuai dengan kehendak. Dalam keadaan ketergantungan emosional kekakuan atau
kekejangan itu akan makin bertambah, sebaliknya dalam keadaan tenang, gejala
itu menjadi berkurang. Pada umumnya, anak CP jenis spastik ini memiliki tingkat kecerdasan yang
tidak terlalu rendah. Diantara mereka ada yang normal bahkan ada yang diatas
normal.
2)
Athetoid
Pada
tipe ini tidak terdapat kekejangan atau kekakuan. Otot-ototnya dapat digerakan
dengan mudah. Ciri khas tipe ini terdapat pada sistem gerakan. Hampir semua
gerakan terjadi diluar kontrol. Gerakan dimaksud adalah dengan tidak adanya
kontrol dan koordinasi gerak.
3)
Ataxia
Ciri
khas tipe ini adalah seakan-akan kehilangan keseimbangan, kekakuan memang tidak
tampak tetapi mengalami kekakuan pada waktu berdiri atau berjalan. Gangguan
utama pada tipe ini terletak pada sistem koordinasi dan pusat keseimbangan pada
otak. Akibatnya, anak
tuna tipe ini
mengalami gangguan dalam hal koordinasi ruang dan ukuran, sebagai contoh dalam
kehidupan sehari-hari : pada saat makan mulut terkatup terlebih dahulu sebelum
sendok berisi makanan sampai ujung mulut.
4)
Tremor
Gejala
yang tampak jelas pada tipe tremor adalah senantiasa dijumpai adanya
gerakan-gerakan kecil dan terus menerus berlangsung sehingga tampak seperti
bentuk getaran-getaran. Gerakan itu dapat terjadi pada kepala, mata, tangkai
dan bibir.
5)
Rigid
Pada
tipe ini didapat kekakuan otot, tetapi tidak seperti pada tipe spastik,
gerakannya tanpak tidak ada keluwesan, gerakan mekanik lebih tampak.
6)
Tipe Campuran
Pada
tipe ini seorang anak
menunjukan dua jenis ataupun lebih gejala tuna CP sehingga akibatnya lebih berat bila
dibandingkan dengan anak
yang hanya memiliki satu jenis/tipe kecacatan.
2.
Kelainan pada Sistem Otot dan Rangka (Musculus Scelatel System)
Penggolongan
anak tunadaksa
kedalam kelompok system otot dan rangka didasarkan pada letak penyebab kelainan
anggota tubuh yang mengalami kelainan yaitu: kaki, tangan dan sendi, dan tulang
belakang.
Jenis-jenis
kelainan sistem otak dan rangka antara lain meliputi:
a.
Poliomylitis
Penderita
polio adalah mengalami kelumpuhan otot sehingga otot akan mengecil dan
tenaganya melemah, peradangan akibat virus polio yang menyerang sumsum tulang
belakang pada anak
usia 2 (dua) tahun sampai 6 (enam) tahun.
b.
Muscle Dystrophy
Anak mengalami kelumpuhan
pada fungsi otot. Kelumpuhan pada penderita muscle dystrophy sifatnya
progressif, semakin hari semakin parah. Kondisi kelumpuhannya bersifat simetris
yaitu pada kedua tangan atau kedua kaki saja, atau kedua tangan dan kedua
kakinya.
Penyebab
terjadinya muscle distrophy belum diketahui secara pasti.
Tanda-tanda anak menderita muscle dystrophy baru kelihatan setelah anak berusia 3 (tiga) tahun melalui gejala yang tampak yaitu gerakan-gerakan anak lambat, semakin hari keadaannya semakin mundur jika berjalan sering terjatuh tanpa sebab terantuk benda, akhirnya anak tidak mampu berdiri dengan kedua kakinya dan harus duduk di atas kursi roda.
Tanda-tanda anak menderita muscle dystrophy baru kelihatan setelah anak berusia 3 (tiga) tahun melalui gejala yang tampak yaitu gerakan-gerakan anak lambat, semakin hari keadaannya semakin mundur jika berjalan sering terjatuh tanpa sebab terantuk benda, akhirnya anak tidak mampu berdiri dengan kedua kakinya dan harus duduk di atas kursi roda.
II.
APA PENYEBAB TUNADAKSA
Ada
beberapa macam sebab yang dapat menimbulkan kerusakan pada anak hingga menjadi
tunadaksa. Kerusakan tersebut ada yang terletak dijaringan otak, jaringan
sumsum tulang belakang, pada sistem musculus skeletal. Adanya keragaman jenis
tunadaksa dan masing-masing kerusakan timbulnya berbeda-beda. Dilihat dari saat
terjadinya kerusakan otak dapat terjadi pada masa sebelum lahir, saat lahir,
dan sesudah lahir.
A.
Sebab-sebab Sebelum Lahir (Fase Prenatal)
Pada
fase, kerusakan terjadi pada saat bayi masih dalam kandungan, kerusakan
disebabkan oleh:
1.
Infeksi atau penyakit yang menyerang ketika
ibu mengandung sehingga menyerang otak bayi yang sedang dikandungnya, misalnya
infeksi, sypilis, rubela, dan typhus abdominolis.
2.
Kelainan kandungan yang menyebabkan peredaran
terganggu, tali pusat tertekan, sehingga merusak pembentukan syaraf-syaraf di
dalam otak.
3.
Bayi dalam kandungan terkena radiasi. Radiasi
langsung mempengaruhi sistem syarat pusat sehingga struktur maupun fungsinya
terganggu.
4.
Ibu yang sedang mengandung mengalami trauma
(kecelakaan) yang dapat mengakibatkan terganggunya pembentukan sistem syaraf
pusat. Misalnya ibu jatuh dan perutnya membentur yang cukup keras dan secara
kebetulan mengganggu kepala bayi maka dapat merusak sistem syaraf pusat.
B.
Sebab-sebab pada saat kelahiran (fase natal, peri natal)
Hal-hal
yang dapat menimbulkan kerusakan otak bayi pada saat bayi dilahirkan antra
lain:
1.
Proses kelahiran yang terlalu lama karena
tulang pinggang ibu kecil sehingga bayi mengalami kekurangan oksigen,
kekurangan oksigen menyebabkan terganggunya sistem metabolisme dalam otak bayi,
akibatnya jaringan syaraf pusat mengalami kerusakan.
2.
Pemakaian alat bantu berupa tang ketika
proses kelahiran yang mengalami kesulitan sehingga dapat merusak jaringan
syaraf otak pada bayi.
3.
Pemakaian anestasi yang melebihi ketentuan.
Ibu yang melahirkan karena operasi dan menggunakan anestesi yang melebihi dosis
dapat mempengaruhi sistem persyarafan otak bayi, sehingga otak mengalami
kelainan struktur ataupun fungsinya.
C.
Sebab-sebab setelah Proses kelahiran (fase post natal)
Fase
setelah kelahiran adalah masa mulai bayi dilahirkan sampai masa perkembangan otak
dianggap selesai, yaitu pada usia 5 tahun.
Hal-hal yang dapat menyebabkan kecacatan setelah bayi lahir adalah:
1. Kecelakaan/trauma kepala, amputasi.
2. Infeksi penyakit yang menyerang otak.
3. Anoxia/hipoxia.
Hal-hal yang dapat menyebabkan kecacatan setelah bayi lahir adalah:
1. Kecelakaan/trauma kepala, amputasi.
2. Infeksi penyakit yang menyerang otak.
3. Anoxia/hipoxia.
III.
KARAKTERISTIK ANAK
TUNADAKSA.
Derajat
keturunan akan mempengaruhi kemanpuan penyesuaian diri dengan lingkungan,
kecenderungan untuk bersifat pasif. Demikianlah pada halnya dengan tingkah laku
anak tunadaksa
sangat dipengaruhi oleh jenis dan derajat keturunannya. Jenis kecacatan itu
akan dapat menimbulkan perubahan tingkah laku sebagai kompensasi akan
kekurangan atau kecacatan.
Ditinjau
dari aspek psikologis, anak
tunadaksa cenderung merasa malu, rendah diri dan sensitif, memisahkan diri dari
llingkungan. Disamping karakteristik tersebut terdapat beberapa problema
penyerta bagi anak
tunadaksa antara lain:
·
Kelainan perkembangan/intelektual
·
Ganguan pendengaran.
·
Gangguan penglihatan.
·
Gangguan taktik dan kinestetik.
·
Gangguan pesepsi
·
Gangguan emosi.
IV.
BAGAIMANA IMPLIKASI PENDIDIKAN ANAK
TUNADAKSA
Dalam
dunia Pendidikan pada prinsipnya guru mempunyai peranan ganda. Disatu pihak,
guru berfungsi sebagai pengajar, pendidik, dan pelatih bagi anak didik. Dipihak lain,
guru berfungsi sebagai pengganti orang tua murid di sekolah. Dengan demikian
secara tidak langsung mereka dituntut untuk menjadi manusia serba bisa dan
serba biasa, lebih-lebih bila dihubungkan dengan kenyataan-kenyataan pada saat
ini, yaitu bahwa orang tua dan masyarakat pada umumnya masih mempunyai anggapan
yang keliru. Mereka berpendapat bahwa berhasil atau tidaknya pendidikan anak-anak mereka diserahkan
sepenuhnya pada pihak sekolah, termasuk didalamnya para guru, tanpa ikut campur
mereka.
Keadaan
semacam ini lebih komplit lagi dalam dunia pendidikan luar biasa karena subjek
didik yang dihadapi memiliki keterbatasan-keterbatasan tertentu, baik kemanpuan
fisik, mental, emosi maupun dalam usaha penyesuaian diri dengan pihak luar atau
lingkunagan sekitar. Oleh karena itu, tugas guru semakin berat yang dituntut
keahlian serta keterampilan tertentu, baik dalam bidang metedologi yang
bersifat khusus, maupun dalam bidang pelayanan terapi.
Pelayanan
terapi yang diperlukan anak
tunadaksa antara lain:
·
Latihan wicara (speech Therapy)
·
Fisioterapi
·
Occupational therapy
·
Hydro Therapy
Anak tunadaksa pada
dasarnya sama dengan anak-anak normal lainnya. Kesamaan
tersebut dapat dilihat dari fisik dan psiko-sosial. Dari segi fisik, mereka
dapat makan, minum, dan kebutuhan yang tidak dapat ditunda dalam beberapa menit
yaitu bernafas. Sedangkan dari aspek psiko-sosial, mereka memerlukan rasa aman
dalam bermobilisasi, perlu afiliasi, butuh kasih sayang dari orang lain,
diterima dan perlu pendidikan. Adapun unsur kesamaan kebutuhan antara anak tunadaksa dan anak normal, karena pada
dasarnya mereka memiliki fitrah yang sama sebagai manusia.
Pandangan yang melihat anak tunadaksa dan anak normal dari sudut kesamaan akan lebih banyak memberikan layanan optimal untuk mengembangkan potensi yang dimilikinya, ketimbang pandangan yang semata-mata mengekspos segi kekurangannya. Tidak dapat dipungkiri bahwa orang sering melihat orang lain tentang kelemahannya, sehingga yang muncul adalah kritik atau cemoohan. Kiranya demikian, andaikata kita melihat anak tunadaksa semata-mata dari kecacatannya. Oleh karena itu, pandangan yang mendahulukan sifat positif pada anak tunadaksa perlu dimasyarakatkan supaya kesempatan perkembangan dirinya yang baik semakin lebar. Pendidikan yang juga merupakan kebutuhan anak tunadaksa perlu direncanakan dan dilaksanakan dengan mengacu pada kemampuan masing-masing anak tunasaksa. Melalui pendidikan yang dapat dipertanggungjawabkan. Anak-anak tunadaksa diharapkan memiliki masa depan yang tidak selalu bergantung pada orang tua dan masyarakat.
Pandangan yang melihat anak tunadaksa dan anak normal dari sudut kesamaan akan lebih banyak memberikan layanan optimal untuk mengembangkan potensi yang dimilikinya, ketimbang pandangan yang semata-mata mengekspos segi kekurangannya. Tidak dapat dipungkiri bahwa orang sering melihat orang lain tentang kelemahannya, sehingga yang muncul adalah kritik atau cemoohan. Kiranya demikian, andaikata kita melihat anak tunadaksa semata-mata dari kecacatannya. Oleh karena itu, pandangan yang mendahulukan sifat positif pada anak tunadaksa perlu dimasyarakatkan supaya kesempatan perkembangan dirinya yang baik semakin lebar. Pendidikan yang juga merupakan kebutuhan anak tunadaksa perlu direncanakan dan dilaksanakan dengan mengacu pada kemampuan masing-masing anak tunasaksa. Melalui pendidikan yang dapat dipertanggungjawabkan. Anak-anak tunadaksa diharapkan memiliki masa depan yang tidak selalu bergantung pada orang tua dan masyarakat.
V.
BAGAIMANA MODEL PELAYANAN PENDIDIKAN
Sebagaimana
diketahui, bahwa pendidikan bagi anak
tidak selalu harus berlangsung disuatu lembaga pendidikan khusus, sebab
sebagian dari mereka (anak
tunadaksa) pendidikannya dapat berlangsung di sekolah dan kelas reguler/sekolah
umum. Hal ini disebabkan oleh faktor kemampuan dan ketidakmampuan anak tunadaksa dan
lingkungannya. Evelyn Deno, (1970) dan Ronald L Taylor, (1984) menjelaskan
system layanan pendidikan bagi anak
luar biasa (termasuk anak
tunadaksa) yang bervariasi, mulai dari sistem pendidikan di kelas dan sekolah reguler/umum
sampai pendidikan yang diberikan disuatu rumah sakit, bahkan sampai pada bentuk
layanan yang tidak memiliki makna edukasi sama sekali, yakni layanan yang
diberikan kepada anak-anak tunadaksa dalam
perawatan medis dan bantuan pemenuhan kebutuhan sehari-hari.
Dari
kenyataan di lapangan bahwa anak
tunadaksa memiliki problema penyerta. Problema penyerta ini berbeda-beda antara
seorang anak
tunadaksa yang satu dengan anak
tunadaksa yang lainnya, tergantung dari pada penyebab ketunaannya, berat ringannya
ketunaannya. Atas dasar kondisi anak
tunadaksa tersebut, maka model pelayanan pendidikannya dibagi pada “Sekolah
Khusus” dan “Sekolah Terpadu/Inklusi”.
A.
Sekolah Khusus
Pelayanan
pendidikan bagi anak
tunadaksa di sekolah khusus ini diperuntukkan bagi anak yang mempunyai problema lebih berat, baik
problema penyerta intelektualnya seperti retardasi mental maupun problema
penyerta kesulitan lokomosi (gerakan) dan emosinya.
Di
sekolah khusus ini pelayanan pendidikannya dibagi menjadi dua unit, yaitu unit
sekolah khusus bagi anak
tunadaksa ringan, dan unit sekolah khusus bagi anak tunadaksa sedang.
1.
Sekolah Khusus untuk Anak
Tunadaksa Ringan (SLB-D)
Pelayanan
pendidikan diunit tunadaksa ringan atau SLB-D diperlukan bagi anak tunadaksa yang tidak
mempunyai problema penyerta retardasi mental, yaitu anak tunadaksa yang mempunyai intelektual
rata-rata atau bahkan di atas rata-rata intelektual anak normal. Namun anak kelompok ini belum ditempatkan di sekolah
terpadu/sekolah umum karena anak
masih memerlukan terapi-terapi, seperti fisio terapi, speech therapy,
occuppational therapy dan atau terapi yang lain. Dapat juga terjadi anak tunadaksa tidak
ditempatkan di sekolah reguler karena derajad kecacatannya terlalu berat.
2.
Sekolah Khusus untuk Anak
Tunadaksa Sedang (SLB-D1)
Pelayanan
pendidikan diunit ini, diperuntukkan bagi anak tunadaksa yang mempunyai problema seperti,
emosi, persepsi atau campuran dari ketiganya disertai problema penyerta
retardasi mental. Kelompok anak
tunadaksa sedang ini mempunyai intelektual di bawah rata-rata anak normal.
B.
Sekolah Terpadu/Inklusi
Bagi
anak tunadaksa
dengan problema penyerta relatif ringan, dan tidak disertai dengan problema
penyerta retardasi mental akan sangat baik jika sedini mungkin pelayanan
pendidikannya disatukan dengan anak-anak normal lainnya di
sekolah reguler/sekolah umum. Karena anak tunadaksa tersebut sudah dapat mengatasi problema
fisik maupun intelektual serta emosionalnya.
Namun
walaupun kondisi penyerta anak
tunadaksa cukup ringan, sekolah reguler yang ditunjuk untuk melayani
pendidikannya perlu persiapan yang matang terlebih dahulu, baik persiapan
sarana maupun prasarananya. Seperti persiapan aksesibilitas misalnya
meminimalkan trap-trap atau tangga-tangga. Jika memungkinkan dibuatkan
ramp-ramp untuk akses kursi roda, atau bagi anak yang khusus menggunakan alat bantu jalan
lainnya seperti kruk atau wolker. Bentuk meja atau kursi belajar disesuaikan
dengan kondisi anak.
Hal demikian memerlukan persiapan yang lebih terencana, sehingga tidak
menimbulkan problema tambahan bagi anak
tunadaksa. Juga bentuk toilet, kloset harus dapat dipergunakan bagi anak yang menggunakan kursi
roda. Disamping itu sistem guru kunjung dapat membantu memecahkan permasalahan
yang mungkin timbul pada anak
tunadaksa dikemudian hari.
VI.
KETENAGAAN KHUSUS, KURIKULUM DAN ADMINISTRASI
A.
Ketenagaan
1.
Tenaga Kependidikan
Tenaga
kependidikan untuk Pendidikan Luar Biasa bagian D (tunadaksa) adalah guru yang
secara khusus mempersiapkan diri untuk mengajar anak tunadaksa yang mempunyai berbagai masalah
dari tingkat Taman Kanak-kanak sampai dengan Tingkat Menengah. Disamping itu
juga dapat merencanakan dan melaksanakan tugas pendidikan bagi anak yang sedang dalam
perawatan karena operasi.
a.
Tenaga Guru yang Diperlukan adalah :
1.
Guru Kelas atau Guru Bidang Studi
2.
Guru Keterampilan
3.
Guru Agama
4.
Guru Olahraga
b.
Persyaratan Tenaga Guru/Pendidik adalah:
1.
Tamatan minimal SGPLB, sarjana muda/DIII,
sarjana pendidikan luar biasa dari IKIP/Universitas.
2.
Untuk guru agama dari PGA, DIII, S1 IAIN atau
sederajat.
3.
Untuk guru olahraga dari DIII, S1 IKIP atau
Universitas.
4.
Untuk guru keterampilan DIII, S1
IKIP/Universitas
5.
Untuk guru bidang studi minimal DIII, S1
IKIP/Universitas dari jurusan yang sesuai.
2.
Tenaga Ahli
Tenaga
Ahli yang diperlukan untuk:
a.
Remedial Teaching
Guru
yang mendapat tugas khusus untuk remedial atau bertugas memberi bimbingan dan
penyuluhan.
b.
Team Rehabilitasi
-
Dokter umum
- Dokter anak
- Dokter anak pediatry
- Dokter orthopedi
- Psikolog
- Orthopedagogik
- Speech therapist
- Occupational therapist
- Pekerja sosial
- Dokter anak
- Dokter anak pediatry
- Dokter orthopedi
- Psikolog
- Orthopedagogik
- Speech therapist
- Occupational therapist
- Pekerja sosial
3.
Tenaga Administrasi
Tenaga
administrasi untuk pendidikan luar biasa bagian D (tunadaksa) adalah :a. Kepala Sekolah
b. Wakil Kepala Sekolah
c. Bendahara
d. Tenaga Usaha, yang dapat melaksanakan : agendaris, inventaris dan pengetikan
e. Pesuruh/pembantu sekolah
4. Penjaga Sekolah/SATPAM
Petugas yang diberi wewenang untuk menjaga keamanan/memelihara ketertiban sekolah.
B. Kurikulum
Kurikulum yang digunakan adalah kurikulum PLB tahun 1994, yang terdiri dari :
1. Landasan Program
2. Garis-garis Program Pengajaran
3. Pedoman Pelaksanaan
C. Administrasi
Administrasi yang digunakan adalah administrasi yang sesuai dengan pedoman administrasi yang telah dibukukan antara lain :
1. Administrasi Program Pengajaran
2. Administrasi Kepegawaian
3. Administrasi Keuangan
4. Administrasi Perlengkapan dan Barang.
Jumat, 19 Februari 2016
Langganan:
Postingan (Atom)
LOMBA LKSN 2021
-
A. PENATA AWAL DAN TUJUAN. Pemeliharaan perilaku dapat dilakukan dengan berbagai cara ,diantaranya dengan menggunakan penguatan. Peng...
-
PERILAKU Cara mengubah perilaku : melalui modifikasi / cara mengubah perilaku dg menerapkan prinsip belajar. Sasaran : 1. Menin...
-
DOWNLOAD KELAS 1 TUNAGRAHITA TEMA 1 DOWNLOAD KELAS 1 TUNAGRAHITA TEMA 2 DOWNLOAD KELAS 1 TUNAGRAHITA TEMA 3